Breaking

lebih dari satu tahun suami tak beri nafkah

Pertanyaan :
1. Bagaimana suami yang tidak menafkahi istri lahir-bathin sampai setahun lebih?

2. Bagaimana status istri yang tiba-tiba mendapat surat cerai dari pengadilan negeri bahwa suaminya telah menceraikan?

 Jawaban :

Suami telah melakukan dosa, karena tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, sebab wajib hukumnya memberi nafkah kepada istri.
Dan hubungan keduanya resmi (Bercerai)

Allah berfirman :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ
Dan kewajiban seorang ayah adalah memberi makan dan pakaian (nafkah) kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (benar).
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya
QS. Al-Baqarah  233

وقوله: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ أي: وعلى والد الطفل نفقة الوالدات وكسوتهن بالمعروف، أي: بما جرت به عادة أمثالهن في بلدهنّ من غير إسراف ولا إقتار، بحسب قدرته في يساره وتوسطه وإقتاره، كما قال تعالى:  لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا . قال الضحاك: إذا طلَّقَ الرجل زوجته وله منها ولد، فأرضعت له ولده، وجب على الوالد نفقتها وكسوتها بالمعروف.
(إبن كثير)

Allah berfirman :
Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.
Yakni di wajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang kepada para ibu dari anaknya secara yang ma'ruf(benar).
Sebagaimana menurut tradisi yang berlaku di negeri itu, tanpa berlebih-lebihan dan juga tidak terlalu minim.
Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam urusan kemampuan ekonominya, sebab ada orang yang kaya, ada ekonominya menengah, ada pula yang miskin.
Sebagaimana Allah menjelaskan didalam firmanNya:
Hendaklah orang-orang yang mampu memberi nafkah, berilah (sesuai kemampuannya) , dan orang-orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (kadar) apa yang Allah telah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Adl-Dlohak mengatakan "Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak yang masih dalam penyusuan, maka wajib baginya memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah di ceraikan itu dengan cara yang ma'ruf.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ وَهْبِ بْنِ جَابِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضِيعَ مَنْ يَقُوتُ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari Wahb bin Jabir dari Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma, dia berkata; aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi makan olehnya"
(Musnad Ahmad No Hadits : 6534)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari 'Aisyah bahwa Hindun binti Utbah berkata, Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya." Maka beliau bersabda: Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.
(HR. Bukhori No. 4945).

مايؤخذمن الحديث
١. وجوب نفقة الزوجة والأولاد، وأنه يختص بهاالأب، فلا تشاركه الأم فيها، ولاغيرها من الأقارب
٢. النفقة تقدر بحال الزوج, وحال المنفق, من حيث الغنى, والفقر, ووسط الحال
٣. النفقة تكن بالمعروف، ومعنى المعروف، العرف والعادة، وهذا يختلف باختلاف الزمان والمكان، وأحول الناس
٤. ان من وجبت عليه النفقة، فلم ينفق شحا، فان يؤخذ من ماله، ولو بغيرعمله، لأنها نفقة واجبة عليه
٥. ومنه ان المتولي على أمر من الأمور يرجع في تقديره اليه، لأنه مؤتمن، فله الولاية على ذالك
٦. اختلف العلماء، هل أمر النبي صلى الله عليه وسلم هندا هين سألته أن تأخذ من مال زوجها هو حكم، فيكون من باب الحكم على الغائب، أم أنها فتوى؟ قال العلماء : ان هذا القصة مترددة بين كونها فتيا، وبين كونها حكما, وكونها فتيا أقرب، لأنه لم يطالبها بينة، ولاستحلفها، وأبو سفيان فى البلد لم يغيب  عنه، والحكم لا يكون الا بحضور الخصمين كليهما
٧. ومنه جواز مخاطبة الأمرأة الأجنبية للحاجة، وعند الأمن من الفتنة
٨. وعموم الحديث يوجب نفقة الأولاد، وان كانوا كبارا، قال الله تعالى : وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
٩. وفيه دليل على أن من تعذر عليه الستيفاء ما يجب له، فله أن يأخذه، ولو على سبيل الخفية, ويسميها العلماء، "مسألة الظفر"، وهي مسألة خلافية, أجزاها الشافعي وأحمد, ومنعها أبوحنيفه ومالك, والراجح  التفصيل وذالك أنه ان كان سبب الحق واضحا بينا، فله الأخذ، لانتفاء الشبهة  فيه، وان كان السبب خفيا، فللا يجوز، لئلا يتهم بلآخذ بالاعتداء على حق الغير
 توضيح الاحكام من بلوغ المرام ج ٦ ص ٣٥-٣٦

Dari hadits di atas, para ulama menyerap banyak sekali hukum, di antaranya :
1. Wajibnya memberi nafkah untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anak.
Nafkah ini menjadi tanggung jawab secara khusus yang berlaku atas seorang ayah (suami).
dan tidak dapat dibebankan kepada sang ibu (isteri) atau kerabat dekat
2. Ukuran nafkah itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sang suami dan orang yang menafkahi, dilihat dari aspek kekayaan, kefakiran serta kemudahan rezekinya.
3. Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda-beda dari sisi waktu, tempat dan kondisi manusia.
4. Siapa yang sudah diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah, namun tidak memberi nafkah karena pelit, maka boleh diambil dari hartanya walaupun tanpa sepengetahuannya sebab ini merupakan nafkah yang wajib atasnya.
5. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas kebutuhan orang banyak,maka penentuan ukuran besarnya nafkah itu ditentukan menurut pendapatnya sebab ia lah orang yang diberi amanah dan memiliki kewenangan atas itu.
6. Para ulama berbeda pendapat perihal  " Apakah perintah Rasulullah Saw kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya itu dinilai sebagai putusan hukum,sedangkan tidak ada bukti nyata pada kasusnya, ataukah ini dinilai sebagai fatwa? Para ulama mengatakan :
Kisah Hindun ini mengandung dua kondisi antara keduanya, ini sebagai fatwa sekaligus juga merupakan putusan hukum.
Tetapi berdasarkan penggalian hukum kisah diatas lebih tepat dikatakan sebagai fatwa, sebab Rasulullah Saw tidak menuntut Hindun untuk menghadirkan alat bukti, atau memintanya agar bersumpah, padahal Abu Sufyan tidak sedang keluar kota.
Sedangkan apabila memang ini sebagai putusan hukum, maka semestinya dihadiri oleh kedua orang yang bersengketa tetapi dalam kasus tersebut, fakta kejadian menyatakan tidak adanya Abu Sufyan.
7. Pengaduan seperti kisah diatas atau semisalnya bukan merupakan ghibah (gunjingan) yang diharamkan, oleh sebab Hindun mengadukan perkaranya kepada pihak yang berwenang yaitu  (Rasulullah SAW), yang mampu berlaku adil terhadapnya serta mampu menampik fitnah didalamnya (Aman)
8. Hadits tersebut mengandung makna umum, yaitu wajibnya memberi nafkah kepada anak-anak sekali pun mereka sudah besar (dewasa).
Allah berfirman :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
QS.Al Baqarah 233
9. Hadits tersebut merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemenuhan sesuatu yang sudah menjadi haknya, maka ia boleh mengambilnya sekali pun secara diam-diam.
Dalam hal ini Ulama membuat terminologi hukum dengan istilah "masalah Dhafar", yang mana para Ulama pun masih berbeda pendapat didalamnya. Madzhab kami Imam Syafi'i, juga Imam Ahmad memperbolehkan, Sementara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik melarangnya.
Adapun pendapat yang kuat perlu adanya tafshil (Perincian) Artinya, apabila sebab adanya hak itu memang jelas dan terang, maka bagi orang yang memiliki hak boleh mengambilnya karena sudah tidak ada syubhat lagi didalamnya, sedangkan apabila sebab haknya masih samar, maka tidak boleh! agar ia tidak dituduh melanggar hak orang lain.

Status Hubungan dalam kasus di atas adalah (bercerai), terbukti dengan surat pengadilan luar negeri yang menyatakan bahwa suaminya telah menceraikan dia.

فَصْلٌ كَتْبُ الطَّلَاقِ وَلَوْ صَرِيحًا كِنَايَةٌ وَلَوْ من الْأَخْرَسِ فَإِنْ نَوَى بِهِ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَإِلَّا فَلَا
اسنى المطالب ج ٣ ص ٢٧٧

(Pasal)
Menulis talak walau berupa kalimat talak yang shorih (jelas) seperti kata talak, cerai atau pisah maka hukumnya menjadi kinayah, apabila ada niat dari suami untuk menceraikan maka jatuh talak, apabila tidak ada niat maka tidak jatuh.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.